Syi’ah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai atau kelompok, sedangkan secara terminologis adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaannya selalu merujuk pad keturunan Nabi Muhammad SAW. Atau orang yang disebut sebagai ahl bait. Poin penting dalam doktrin Syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama itu bersumber dari ahl bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl-bait atau para pengikutnya.
Pengertian bahasa dan terminologis di atas hanya merupakan dasar yang membedakan Syi’ah dengan kelompok Islam yang lain. Di dalamnya belum ada penjelaan yang mngenai Syi’ah yang memadai mengenai syi’ah berikut doktrin-doktrinnya. Meskipun demikian, pengertian di atas merupakan titik tolak penting bagi mazhab Syi’ah dalam mengembangkan dan membangun doktrin-doktrinnya yang meliputi segala aspek kehidupan, seperti imamah, taqiyah, mut’ah dan sebagainya.
Mazhab Syi’ah memilki visi politiknya sendiri; sebagian dekat dan sebagian jauh dari agama. Di dalam pengkajian aqidah, mereka memilki metode yang mendekati atau sejalan dengan metode sebagian aliran aqidah lain. Demikian pula dengan aliran khawarij. Mereka juga memilki pemikiran politik, aqidah dan keimanan. Barangkali interaksi antar kedua bidang inilah yang melahirkan perpecahan hebat di kalangan kaum Muslimin.
Syi’ah adalah mazhab politik yang pertama kali lahir dalam Islam. Aliran ini tampil pada akhir masa pemerintahan Utsman, kemudian tumbuh dan berkembang pada masa Ali. Setiap kali Ali berhubungan dengan masyarakat, mereka semakin mengagumi bakat, kekuatan beragama, dan ilmunya. Karena itu, propagandis Syi’ah mengeksploitasi kekaguman mereka terhadap Ali untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran mereka tentang dirinya. Sahabat Ali sendiri tidak pernah berusaha untuk mengembangkannya, tetapi bakat-bkat yang dimilikinya telah mendorong perkembangan itu. Ketika Ali wafat, pemikiran ke-Syi’ah-an berkembang menjadi mazhab-mazhab. Diantara pemikiran itu, ada yang menyimpang dan ada pula yang lurus. Namun keduanya sama-sama fanatik terhadap keluarga Nabi.
Masa pemerintahan Umawiyah merupakan masa yang kondusif bagi pengkultusan Ali karena Muawiyah telah menciptakan tradisi buruk pada masanya yang berlanjut pada masa anaknya, Yazid, dan para penggantinya sampai masa kholifah Umar bin Abdul Aziz. Tradisi buruk itu ialah mengutuk Imam al-Huda, Ali bin Abi Thalib pada setiap penutup khutbah Jum’at. Para sahabat telah berusaha melarang Muawiyah da pejabat-pejabatnya melakuka hal itu. Bahkan Ummu Salamah, istri Nabi, menulis surat kepada Muawiyah, “Sesungguhnya Anda telah mengutuk Allah dan Rasul-Nya karena Anda mengutuk Ali bin Abi Tholib dan orang-orang yang dicintainya. Saya bersaksi bahwa Rasulullah mencintainya.”
Menurut sumber lain, Syi’ah baru benar-benar muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan nama perang Shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase (tahkim) yang ditawarkan Muawiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok lain mendukung sikap Ali –kelak disebut Syi’ah- dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak disebut Khawarij.
Kalangan Syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah) Nabi SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Tholiblah yang berhak menggantikan Nabi.
Orang-orang Syi’ah tidak bersikap sama dalam menetapkan posisi Ali dan keturunannya: sebagian bersikap ekstrim dan sebagian lain bersikap moderat. Kelompok moderat terbatas hanya mengutamakan Ali atas semua sahabat, tidak mengkafirkan seseorang, dan tidak mengkultuskan Ali hingga dipandang mengatasi semua manusia.
Pengaruh Filsafat Kuno terhadap Syi’ah
Syi’ah, dengan menafikan aliran-alirnnya yang memandang Ali sebagai Tuhan seperti aliran Saba’iyah jelas termasuk golongan Islam. Begitu juga pendapat yang mereka kemukakan berhubungan dengan nash-nash al-Quran maupun hadit-hdits yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad. Akan tetapi, pemikiran mereka meliputi pemikiran filosofis yang menurut pendapat para ulama’ Irak dan Barat merujuk pada mazhab kefilsaftan dan keagamaan sebelum Islam serta oeradaban Persia yang terhenti dengan kedatangan Islam.
Sebagian sarjana Eropa seperti profesor Douzy berkesimpulan bahwa mazhab Syi’ah berasal dari Persia, karena keberagamaan orang Arab bersifat merdeka, sedangkan keberagamaan orag Persia mengikut raja atau dengan cara pewarisan dari istana raja dan tidak mengenal pemilihan kholifah.
Sarjana Eropa yang lain berkesimpulan bahwa paham Syi’ah lebih banyak diambil dari bangsa Yahudi ketimbang dari bangsa Persia. Alasannya, Abdullah bin Saba’, orang pertama yang mengembangkan paham tentang kesucian Ali, adalah orang yahudi. Mereka juga berkesimpulan bahwa di samping mendapat pengaruh Yahudi, mazhab Syi’ah juga menyerupai agama orang-orang Asia kuno, seperti agama Budha.
Menurut Abu Zahroh, Syi’ah telah dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran bangsa Persia di sekitar masalah kerajaan dan pewarisan. Kesmaan antara pemikiran mazhab mereka dan undang-undang kerajaan Persia sangat jelas. Lebih jelas lagi terlihat bahwa kebanyakan penduduk Persia sampai sekarang adalah penganut Syi’ah, dan penganut Syi’ah generasi pertama berasal dari Persia. Mengenai pengaruh Yahudi, kalaupun di antara pemikiran Syi’ah ada yang cocok dengan pemikiran mereka, itu karena filsafat Syi’ah berasal dari berbagai sunber yang secra keseluruhan digali dari bangsa Persia walaupun mereka mengaitkannya dengan ungkapan-ungkapan keislaman.
Orang-orang Syi’ah dewasa ini dan sejumlah besar dari mereka yang moderat tidak mengakui orang-orang seperti Abdullah bin Saba’ termasuk golongan mereka, karena ia bukan Muslim menurut pandangan mereka, apalagi untuk sampai mengakuinya termasuk golongan Syi’ah.
Wallahu A'lam bishowab
0 komentar:
Silahkan untuk memberikan komentar di sini...