Mazhab Khawarij muncul bersamaan dengan mazhab Syi’ah. Mazhab Khawarij untuk pertama kali muncul di kalangan tentara Ali ketika peperangan memuncak antara pasukan Ali dan pasukan Muawiyah. Ketika merasa terdesak olh pasukan Ali, Muawiyah merencanakan untuk mundur, tetapi kemudian terbantu dengan munculnya pemikiran untuk melakukan tahkim. Tentara Muawiyah mengacung-acungkan al-Qur’an agar mereka bertahkim dengan al-Qur’an. Namun Ali tetap melanjutkan peperangn sampai ada yang menang dan kalah, maka keluarlah skelompok orang dari pasukan Ali yang menuntut agar ia menerima usulan tahkim. Dengan terpaksa Ali menerima usulan itu. Kedua belah pihak sepakat untuk mengangkat seorang hakam (delegasi) dari masing-masing pihak. Muawiyah memilih Amr bin Ash yang merupakan politikus dan pandai berunding.
Sementara Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah bin Abbas, tetapi atas desakan pasukannya yang keluar itu, akhirnya mengangkat Abu Musa Al-Asy’ari, seorang ulama’. Upaya tahkim akhirnya berakhir dengan suatu keputusan, yaitu menurunkan Ali dari jabatan kholifah da mengukuhkan Muawiyah menjadi penggantinya. Hasil tahkim ini lebih menguntungkan para pemberontak yang dipimpin Muawiyah. Anehnya, kelompok yang semula meamaksa Ali untuk menerima tahkim orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka itu, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar. Kemudian mereka menuntut Ali agar bertaubat karena dipandang telah berbuat dosa besar. Menurut mereka, Ali yang menyetujui bertahkim berarti telah menjadi kafir, sebagaimana mereka juga telah menjadi kafir, kemudian bertaubat. Semboyan mereka yang terkenal ialah “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah” Mereka kemudian memerangi Ali, setelah trlebih dahulu berdialog dengan Ali, kemudian mengukuhkan pendapatnya.
Sementara Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah bin Abbas, tetapi atas desakan pasukannya yang keluar itu, akhirnya mengangkat Abu Musa Al-Asy’ari, seorang ulama’. Upaya tahkim akhirnya berakhir dengan suatu keputusan, yaitu menurunkan Ali dari jabatan kholifah da mengukuhkan Muawiyah menjadi penggantinya. Hasil tahkim ini lebih menguntungkan para pemberontak yang dipimpin Muawiyah. Anehnya, kelompok yang semula meamaksa Ali untuk menerima tahkim orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka itu, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar. Kemudian mereka menuntut Ali agar bertaubat karena dipandang telah berbuat dosa besar. Menurut mereka, Ali yang menyetujui bertahkim berarti telah menjadi kafir, sebagaimana mereka juga telah menjadi kafir, kemudian bertaubat. Semboyan mereka yang terkenal ialah “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah” Mereka kemudian memerangi Ali, setelah trlebih dahulu berdialog dengan Ali, kemudian mengukuhkan pendapatnya.
Sebgaian orang Khawarij selalu menginterupsi pidato Ali, bahka menginterupsi sholatnya. Sebagian lain menciptakan permusuhan dengan kaum muslimin dengan cara mencaci maki Ali dan Utsman, serta menuduh pengikut keduanya dengan tuduhan musyrik. Para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikira dangkal. Sebenarnya penganut aliran Khawarij banyak yang ikhlas dalam beragama, tetapi keikhlasan mereka diberengi dengan kesempitan berpikir yang hanya tertuju pada satu arah tertentu saja. Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abbas bertemu dengan orang Khawarij untuk berdialog. Ia melihat kening yang menghitam karena banyak melakukan sujud, tangan mereka seperti lutut unta (rajin bekerja) dan pakaian mereka bersih.
Cerita di atas merupakan manifestasi keikhlasan mereka, tetapi kepicikan berpikir sangat dominan dalam diri mereka. Mereka tega membunuh Abdullah bin Khabbab hanya karena ia tidak mau menyatakan kepada merek bahwa Ali musyrik. Namun, mereka tidak mau mengambil kurma orang Nashrani tanpa membayar. Berikut ini adalah suatu kisah yang dikutip dari kitab al-Kamil karya al-Mubarrod. Di antara perangai mereka yang sangat kontroversial ialah mereka menagkap seorang Muslim dan Nashrani. Orang Muslim mereka bunuh, sedangkan orang Nashrani mereka nasihati secra baik, dengan mengatakan, “Peliharalah janji nabi kamu,”
Mengapa terdapat sifat-sifat yang bertentangan dalam diri mereka? Sifat-sifat taqwa, ikhlas, menyeleweng, ceroboh, ketat dalam memberi penilaian, keras, garang, giat mengajak orang untuk mngikuti pendapat mereka yang menyimpang, berpikiran sempit dan lain-lain. Hal itu disebabkan kebanyakan penganut paham Khawarij adalah Arab pegunungan dan hanya sedikit dari kalangan Arab perkotaan.
Pada waktu mereka menerima Islam, kehidupan mereka sangat sulit. Ketika Islam datang kehidupan alami mereka tidak menjadi bertambah baik, sebab kondisi kehidupan pegunungan mereka tetap berlanjut mengingat kerasnya lingkungan alam mereka. Islam masuk ke lubuk hati mereka berdampingan dengan sempitnya berpikir dan imajinasi mereka serta jauhnya mereka dari ilmu pengetahuan. Dari sejumlah persoalan itu, muncullah jiwa yang beriman dan fanatik (karena pola pikir yang sempit), bersikap gigih (karena sesuai dengan alam yang ganas), zahid atau tidak cinta dunia (karena mereka memang miskin). Model kehidupan yang mereka jalani itulah yang menyebabkan munculnya sifat-sifat yang saling bertentangan dalam diri mereka.
Kalaupun di atas dukatakan bahwa Khawarij memiliki sifat tulus atau ikhlas pada waktu keluar dari pasukan Ali dan melawan Muawiyah, itu tidak berarti bahwa keikhlasan mereka tidak dicampuri sifat0sifat lain. Akan tetapi, memang sejak awal sudah ada yang mengeruhkannya. Tak bisa dipungkiri, bahwa ada faktor-faktor lain, disamping kepercayaan yang hak, yang mendorong mereka untuk keluar dari barisan Ali . Antara lain ialah Khawarij merasa iri terhadap kalangan QuRAISY yang memegang jabatan kholifah dan memonopoli jabatan tersebut.
Beberapa Prinsip yang disepakati Aliran-Aliran Khawarij
Pertama, dan ini yang paling tegas, adalah pengangkatan kholifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar-benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi. Seorang kholifah tetap pada jabatnnya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at, serta jauh dari kesalahan serta penyelewengan. Jika ia menyimpang, maka ia diturunkan jabatannya atau dibunuh.
Kedua, jabatan kholifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy sebagaimana dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama.
Ketiga, yang berasal dari aliran Najdah, pengangkatan kholifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah-masalah mereka. Jika masyarakat berpendapat bahwa masalah mereka tidak dapat diselesaikan dengan tuntas tanpa seorang imam (kholifah) yang dapat membimbing masyarakat ke jalan yang benar, maka ia boleh diangkat. Jadi pengangkatan imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersifat kebolehan. Klaupun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban itu berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.
Keempat, orang yang berdosa adalah kafir. Mereka tidak membedakan antara satu dosa dan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapat merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran. Itulah sebabnya mereka mengkafirkan Ali ketika menerima usulan tahkim, padahal upaya tahkim itu bukan pilihan Ali. Penetapan kafirnya Ali menunjukkan pendapat mereka bahwa kesalahan dalam berijtihad dapat membuat seseorang keluar dari Islam. Demikian pula halnya dengan pengkafiran Thalhah, Ibnu Zubair, dan para tokoh sahabat lainnya, yang pendapatnya dalam kasus-kasus tertentu bertentangan dengan pendapat Khawarij.
Prinsip keempat inilah yang membuat Khawarij keluar dari mayoritas umat Islam. Mereka memandang orang yang berbeda paham dengannya telah menjadi musyrik. Berikut ini penjelasan dalil-dalil yang digunakan untuk mendasari pendapat mereka. Antara lain firman Allah, ومن لم يحكم بما انزل الله فالئك هم الكفرون
Baranf siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir. (Q.S Al-Maidah: 44). Oleh karenanya, Khawarij menetapkan bahwa orang yang meninggalkan haji menjadi kafir. Karena meninggalkan haji adalah dosa, maka yang berdosa menjadi kafir.
Semua dalil di atas dipahami dalam bentuk makna lahir ayat. Dalam dalil di atas, kekafiran bukanlah sifat dari orang yang tidak melaksanakan haji, tetapi bagi orang yang mengingkari kewajiban haji.
Wallahu A’lam bis showab
Wallahu A’lam bis showab
0 komentar:
Silahkan untuk memberikan komentar di sini...