Doktrin pemikiran bebas, bukan berarti tanpa batas, tetapi dalam masalah ijtihad memiliki beberapa persyaratan khusus, baik bagi segi mujtahid sendiri maupun mujtahid alaih (lapangan ijtihad) sebagai, sebab realitanya tidak semua orang dapat berijtihad dan tidak semua ajaran Islam dapat diijtihadkan. Hal ini terjadi karena adanya dua sifat yang ada di dalam ajaran Islam itu sendiri, yaitu:
1. Sifat Ta’abbudiyah (unchangeable), yaitu melaksanakan apapun bentuk yang diperintahkan agama dengan tidak mempertanyakan “Mengapa demikian..” dan “Bagaimana hal itu bisa menjadi seperti ini...” Sebab dasarnya hanyalah ittiba’ dan sifatnya dikenal dengan kata ibadah.
2. Sifat Ta’aqqudi (changeable), yaitu suatu hal yang dapat dipahami oleh manusi yang ketetapan hukumnya berdasarkan “maslahah” dan “manfaat” bagi umat manusia. Hal inilah yang lazim dikenal dengan istilah muamalah.
Oleh sebab itu, jika ditemukan adanya operasionalisasi ibadah itu tidak sesuai dengan garis besar ketentuan agama (Misal: sholat Shubuh 3 rokaat), maka praktek amaliyyahnya lazim disebut dengan istilah bid’ah, sebab segala sesuatunya sudah ditentukan.
Aspek-Aspek Ijtihad
Hal-hal yang dapat dijadikan objek ijtihad bagi para mujtahid dapat dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu:
1. Hal-hal yang memang nashnya sudah ada
Maka yang menjadi objeknya terbatas hnaya pada sekedar nash dan mujtahid tidak melampaui batas-batas yang membuat munculnya beberapa kemungkinan dalam dalalahnya (pengertian) yang telah ditunjuk oleh nash itu sendiri. Hal ini dapat dilihat adanya nash yang keadaannya sebagai berikut:
a. Keadaan nash itu berup al-Qur’an atau hadits mutawatir. Jika kedudukannya bersifat zhanniy dan dalalahnya bersifat qoth’iy, maka objek ijtihadnya para mujtahid adalah melakukan penelitian hukumyang ada pada sisi dalalahnya (pengertian), dalam artian: kedudukan nash terkandung di dalamnya
b. Keadaan nash berupa hadits. Jika demikian, maka yang perlu dilihat adalah:
1) Jika kedudukannya bersifat zhanniy dan dalahnya bersifat qoth’iy, maka objek ijtihadnya terbatas hanya penelitian terhadap keshahihan sanad hadits dan hal-hal yang berhubungan dengan matannya.
2) Jika kedudukan dan dalalahnya itu keduanya bersifat zhanniy, maka objek para mujtahid terbatas pada hal-hal yang mash ada hubungannya dengan keadaan nash, sekalipun dalalahnya menunjukkan adanya beberapa alternatif
2. Hal-hal yang memang nashnya benar-benar tidak ditemukan
Jika demikian para mujtahid bebas dan tidak terikat, sehingga untuk menentukan dan menemukan hukum, diberikan suatu kebebasan untuk mengadakan penelitian dengan menggunakan berbagai macam metode seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, urf dan sebagainya.
Keadaan kedua yang tanpa adanya ketetapan nash inilah,hasil usaha para mujtahid berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan pandangan dan metode pengambilan hukum yang dipakai, tetapi tidak perlu diperdebatkn yang sampai dapat melemahkan syari’at Islam itu sendiri, sebab dengan cara ini, dapat dijadikan sebagai bukti akan adanya sifat kelestarian dan fleksibilitas syari’at Islam itu sendiri.
Adapun wilayah ijtihad dalam pandangan ulama’ salaf terbatas dengan masalah-masalah fiqhiyyah, namun pada akhirnya wilayah tersebut mengembang pada aspek keislaman yang mencakup akidah, filsafat, tasawwuf, dan fiqh sendiri. Karena itu, Ibnu aL-Qoyyim al-Jawziyyah dalam I’lam al-Muwaqi’in menerangkan bahwa haram hukumnya memberikan fatwa yang menyalahi nash, bahkan ijtihad menjadi gugur bila ditemukan nash. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Syafi’i “bila ada hadits yang shahih, maka buanglah pendapatku yang mengikat dan benarkanlah hadits itu”
Dalam kaitan wilayah ijtihad, Ustadz Muhammad al-Madani menyatkan dalam masalah hukum terbagi 2 kemungkinan yang perlu diantisipasi, yaitu:
a. Masalah Qoth’iyah
Masalah-masalah yang sudah ditetapkan hukumya dengan dalil-dalil yang pasti, baik melalui dalil naqli ataupun dalil aqli. Hukum Qoth’iyah sudah pasti brlakunya sepanjang masa sehingga tidak mungkin adanya perubahan dan modifikasi srta tidak ada wlayah meng-istinbath-kan hukum bagi para mujtahid.
Masalah qoth’iyah terbagi atas 3 bagian:
1) Masalah Akidah, yakni masalah yang menentukan apakah seseorng itu mu’min atau kafir, barang siapa yang mengingkari, tentunya ia mencabut imannya. Misalnya masalah rukun iman.
2) Masalah Amali, yakni masalah ibadah yang telah ditetapkan ketentuannya dalam nash dan tidak mungkin terjadi perselisihan. Misalnya ketentuan bilngan sholat dan sebagainya serta hukum-hukum yang bersifat dlaruri (primer), yang terdiri atas pemeliharaan agama, jiwa, akal, kehormatan atau keturunan.
3) Kaidah-kaidah yang pasti, dimana kaidah-kadah tersebut diintisarikan dan bersumber dari nash-nash yang qoth’iy
b. Masalah Zhanniyah
Masalah-masalah yang belum jelas dalil nashnya sehingga memungkinkan adaya wilayah ijtihad dan ikhtilaf. Adapun wilayah dzaniiyah ada 3 macam, yaitu:
1) Hasil analisa para teolog, yakni masalah yang tidak berkaitan dengan akidah keimanan seseorang. Misalnya masalahapakah Allah itu wajib berkehendak baik atau lebih baik? Sebagian Teolog mewajibkannya, sedangkan yang lain tidak ewajibkannya, karena hal itu membatasi kekuasaan Allah
2) Aspek amaliyah yang zhanniy, yakni masalah yang belum ditentukan kaidah atau kriterianya dalam nash. Misalnya batas-batas menyusui yang dapat menimbulkan haram, sebagian berpendapat sekali susuan, ada yang 3 kali susuan bahkan ada 10 kali usuan dan sebagainya
3) Sebagian kaidah-kaidah zhanniy, yaitu masalah qiyas, sebagian Ulama’ memeganginya karena qiyas merupakan norma hukum tersendiri, dan sebagian tidak, karena qiyas bukan merupakan norma hukum tersendiri melainkan sekedar metode pemahaman nash.
Dari pembagian di atas, dapat disimpulkan bahwa wilayah ijtihad hanya sebatas pada masalah yang hukiumnya ditunjukkan oleh dalil-dalil zhanniy, yang kemudian terkenal dengan masalah fikih, serta masalah hukumnya sama sekali belum disinggung baik oleh al-Qur’an maupun Sunnah dan Ijma’. Apabila ijtihad bertentangan dengan nash, maka ijtihad itu menjadi tertolak dan batal, karena tidak ada ijtihad terhadap nash.
Apakah Disebut Ijtihad Jika Berada Di luar Ruang Lingkup Fiqh?
Para Ulama’ salaf dan khalaf sepakat bahwa pengertian ijtihad yang telah dirumuskan oleh para ahli fiqh dan ushul itu berlaku hanya di bidang hukum, tidak di bidang akidah dan akhlaq. Karena itu, para Ulama’ yang mengadakan pengkajian dan penelaan di bidang akidah dan akhlak, betapapun tinggi ilmunya, tidak pernah dicatat sebagai mujtahid oleh sejarah. Hal ini akan lebih jelas lagi apabila kembali pada pengertian ijtihad dan pengertian fiqh sebagai hasil ijtihad. Ijtihad, seperti telah ditentukan di atas, berfungsi “memperoleh hukum syara’ tingkat zhann”.
Tentu “pengErtian tingkat zhann tentang hukum syara’ yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan-perbuatan orang desa” akan diproleh melaului ijtihad. Disinilah titik temu antara definisi ijtihad dan definisi fiqh. Dari kedua pengertian ini (pengertian ijtihad dan fiqh), nampak jelas bwa itiad, sepanjang pengertian istilahnya, berlaku hanya di dalam bidang fiqh (baca, hukum Islam). Syaikh al-Mahalli menegaskan: Sesunguhnya yang dimaksud ijtihad adalah ijtihad di dalam bidang fiqh (hukum furu’).
Namun, jika melihat fenomena yang banyak terjadi, maka ijtihad tidak hanya berlaku untuk bidang fiqh, tetapi juga brlaku bidang akidah, tasawwuf dan filsafat. Seperti halnya di bidang akidah, masalah aqidah sebenarnya memang sangat luas cakupannya. Mulai dari masalah yang prinsipil seperti tentang Ke-Esa-an Allah SWT, kenabian para utusan Allah, keberadan dan turunnya kitab-kitab suci dari Allah kepada umat manusia hingga masalah keyakinan tentang hari akhir (qiyamah). Tapi dari masalah yang pokok (ushul) itu juga bisa berkembang ke wilayah yang furu’`, meski tema kajiannya masih di bidang aqidah.
Misalnya tentang kenabian. Yang menjadi prinsip (ushul) adalah kita meyakini bahwa Allah SWT mengutus para nabi dan rasul untuk menyampaikan perintah-perintah dari Allah dan kita wajib menerima dan menjalankan pesan-pesan yang dibawa oleh para nabi itu. Itu prinsip dasar yang bersifat ushul. Sampai disitu, tidak ada celah untuk berijtihad atau diskusi.
Tapi, ketika pembahasan sampai kepada siapa sajakah nama para nabi itu? PAda tahun berapa para nabi itu hidup? Di negeri mana saja mereka pernah tinggal? Apakah makanan pokok para nabi itu dan menggunakan bahasa apakah mereka ketika berbicara? Semua itu sudah bukan urusan prinsip aqidah lagi. Jadi, para ahli berbeda pendapat mengenai hal ini.
Begitulah sedikit penjelasan mengenai Aspek-Aspek Ijtihad. Semoga bermanfaat....
0 komentar:
Silahkan untuk memberikan komentar di sini...