Ketika seorang pejabat mengucapkan kata perpisahan, ia meminta maaf. Tetapi kali ini, dia menambah ungkapan klise. Selain meminta maaf atas ucapan, tindakan, gerak-geriknya selama menjadi penjabat, ia juga minta maaf atas gerak-geriknya (sambil meletakkn ibu jari di mulutnya). Ia mohon maaf bukan saja untuk apa yang ia ucapkan, tetapi juga untuk apa yang ia bungkamkan.
Ajaib, anda bisa berdosa karena ucapan anda. Tetapi apakah anda berdosa karena diam, bungkam atau tidak bicara?Bukankah diam itu emas? Bukankah diam itu pegendalian diri? Selama kita diajari untuk diam dan memandang diam sebagai amal sholeh yang utama. Kita mungkin merujuk pada al Ghazali yang menyebut keburukan berbicara dan keutamaan diam. Diam adalah tanda orang yang memperoleh nikmat.
Ajaib, anda bisa berdosa karena ucapan anda. Tetapi apakah anda berdosa karena diam, bungkam atau tidak bicara?Bukankah diam itu emas? Bukankah diam itu pegendalian diri? Selama kita diajari untuk diam dan memandang diam sebagai amal sholeh yang utama. Kita mungkin merujuk pada al Ghazali yang menyebut keburukan berbicara dan keutamaan diam. Diam adalah tanda orang yang memperoleh nikmat.
Tiba-tiba pejabat itu mengingatkan kita ada diam yang dosa dan, untuk itu, kita harus minta maaf. Yang mohon maaf karena diam itu adalah orang yang mengisi saat-saat terakhir jabatannya dengan kesibukan memberikan keterangan. Rupanya, banyak yang ia katakan, tetapi lebih banyak lagi yang ia diamkan. Dan pejabat itu minta maaf untuk keduanya. Sebagaimana tidak semua berbicara berdosa, tidak semua diam berpahala. Tidak semua diam emas. Ada juga diam yang sampah dan menyembunyikan kebusukan. Untuk sementara kita dapat menyebutkan empat diam yang berdosa.
Pertama, anda diam ketika kemungkaran dilakukan terang-terangan didepan anda. Nabi SAW menyebut salah satu yang dilaknat Allah, adalah suami yang diam melihat istrinya berbuat maksiat. (Maksud Nabi SAW, tentu saja meliputi jga istri yang diam melihat suaminya berbuat dosa). Al Qur’an menyebut laknat yang ditimpakan kepada Bani Israil melalui lidah Nabi Dawud dan Nabi Isa AS karena mereka melakukan kemungkaran diantara mereka: Mereka satu sama lain tidak melarang perbuatan mungkar yang mereeka perbuat (QS. 5:78-79). Salah satu kemungkaran yang dibiarkan Bani Israil waktu itu adalah kedzaliman dan penindasan. Ali bin Abi Tholib ra menegaskan, kedzaliman tak pernah berlangsung tanpa kerjasama ntara yang mendzalimi dan yang didzalimi. Dengan diam, orang yang tertindas mendukung pelestarian penindasan. Diamnya seluruh bangsa atas penindasan penguasa adalah tonggak utama kedzaliman. Ali bin Husain, cucu Ali, berdoa,”Tuhanku, ampuni aku bila disampingku ada orang yang didzalimi dan aku diam.” Diam disini dapat berarti izin, seperti diamnya seorang perempuan ketika dipinang, atau diamnya aparat hokum ketika seorang yang berkuasa melakukan pelanggaran. Mengizinkan kedzaliman sama besar dosanya dengan melakukan kedzaliman itu sendiri.
Kedua, diam itu dosa jika berkenaan dengan informasi yang diperlukan masyarakat. Rasulullah SAW, berkata, “Jika seorang alim (pemilik informasi) ditanya, lalu ia (diam) menyembunyikan informasinya itu, ia akan dibelenggu dengan belenggu api nereka. “Berdosalah seorang berilmu yang diam, tidak engajrkan ilmunya; seorang yang tahu jalan yang tidak mau memberikan petunjuk; seorang yang melihat kebusukan dan tidak melaporkannya. Pada tahun ’80 an, Challenger, pesawat ruang angkasa AS, meledak pada saat peluncuran dan membunuh seluruh krunya. Penyebabnya diduga karena salah satu bagian pesawat, o ring, meleleh dalam temperature tertentu. Para insinyur sudah lama mengetahuinya, tetapi mereka tidak melaporkannya karena takut dikecam oleh pimpinannya. Mereka tutup mulut. Diam mereka itu dosa. Diamnya menyelamatkan mereka tetapi mencelakakan orang banyak. Ketika para Ulama’, cendekiawan, dan orang-orang pintar diam melihat kerusakan Titanic negeri ini demi kepentingan sesaat, mereka ikut bertanggung jawab jika kapal ini tenggelam.
Ketiga, diam yang dosa adalah tidak mau berbicara selama tidak berkaitan dengan kentungan dirinya. “Tahukah kalian,” kata Jalaluddin Rumi kepada para pengikutnya, “Mengapa Al Qur’an menyebut: ………Sesungguhnya suara yang paling buruk adalah suara keledai?” (QS 31:19). Dahulu, ketika semua makhluk dicipatakan, mereka mempunyai kemampuan mengeluarkan suara. Ketika suara mereka keluar pertama kalinya, semua makhluk memuji dan mengagungkan Tuhan, kecuali keledai. Keledai hanya bersuara, jika lapar atau ingin memuaskan nafsunya. “Banyak orang seperti keledai. Dunia boleh bergejolak: hutan terbakar, kemarau panjang, banyak orang kelaparan. Mereka diam. Masyarakat boleh resah: jutaan orang kehilangan pekerjaan karena krisis moneter, jutaan bayi mati karena krisis menetek. Mereka diam. Begitu mereka dihadapkan pada persoalan gaji dan tunjangan mereka sendiri, mereka angkat bicara. Segera setelah tuntutan kenaikan gaji mereka dipenuhi, mereka sunyi kembali. Ada juga yang bersuara keras, vocal dan kritis. Dimana-mana ia menjadi singa mimbar. Ia dikenal sebagai pengikut garis keras. Tiba-tiba suaranya hilang. Rupanya, suara kerasnya itu hanya suara keledai. Suara yang keluar karena lapar.
Keempat, diam itu dosa, ketika anda tidak mengakui kesalahan yang anda lakukan. Anda melakukan kesalahan yang amat-amat merugikan masyarakat. Orang banyak meminta pertanggungjawaban anda. Anda diam. Anda menjadi lautan yang isinya tidak terlihat. Anda menjadi patung yang kaku, tanpa ekspresi. Begitu anda menemukan kambing hitam, anda berteriak dengan suara yang mengalahkan halilintar.
Kita tidak tahu mengapa ada orang yang minta maaf untuk tutup mulutnya. Apakah karena ia pernah diam menyaksikan kedzaliman, atau karena informasi yang tidak berani ia sampaikan?
(diangkat dari Reformasi Sufistik Djalaluddin Rahmat, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002-AH
0 komentar:
Silahkan untuk memberikan komentar di sini...